Jurnalisme di tangan Kartini masa kini
Wawancara

Jurnalisme di tangan Kartini masa kini

By Muhammad Arby

Semangat perjuangan Kartini untuk kesetaraan terus bergema di industri media. Dalam dunia jurnalistik yang dinamis dan penuh tantangan, perempuan terus menunjukkan eksistensinya dengan membawa perspektif yang lebih luas dan beragam.

Hari Kartini diperingati setiap 21 April untuk menghormati Raden Adjeng Kartini, seorang pionir dalam memperjuangkan hak perempuan di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kartini berjuang agar perempuan mendapatkan akses pendidikan dan kebebasan berpikir yang lebih luas, sesuatu yang masih relevan hingga kini.

Semangat Kartini tercermin dalam perjuangan jurnalis perempuan modern yang terus mendobrak batasan dan memperjuangkan kesetaraan dalam industri media. Perjuangan tersebut kini diteruskan oleh para perempuan yang berkiprah di dunia jurnalistik. Stevy Widia, Redaktur Pelaksana di Youngster.id, telah mengalami berbagai tantangan dalam perjalanan kariernya, dan menjadi saksi bagaimana industri media terus berkembang seiring waktu.

Menjadi perempuan di industri media bukanlah hal mudah. Menurut Stevy, salah satu tantangan terbesar adalah perkembangan karier. “Persaingan yang besar dan masih berlakunya hukum patriarki membuat perempuan memiliki kesempatan lebih sedikit untuk berada di puncak pimpinan,” ujarnya.

Stevy memulai kariernya di harian Suara Pembaruan pada 2000, meliput berbagai bidang mulai dari isu perkotaan, politik, bisnis, hingga teknologi dan gaya hidup. Seiring berjalannya waktu, ia kemudian pindah ke majalah seperti MRA Media dan TEMPO setelah berkeluarga.

Pada tahun 2016, ia bergabung dengan media digital Youngster.id, yang berfokus pada bisnis dan teknologi. Pengalaman lintas platform ini memberinya wawasan luas tentang bagaimana industri media berkembang.

Dalam hal representasi perempuan di media, Stevy merasa bahwa pemberitaan saat ini sudah lebih banyak memberikan ruang bagi suara perempuan. Akan tetapi, masih ada kekurangan dalam membahas masalah mendasar yang dihadapi perempuan.

"Akibatnya, masih banyak masalah yang terkait dengan perlindungan dan pengembangan diri perempuan kurang dibahas," kata dia.

Jika ada satu hal yang ingin diubah dalam industri media, Stevy berharap ada kesetaraan peluang dan hak bagi jurnalis perempuan.

“Karena terkadang jurnalis perempuan masih dinilai sebelah mata. Hak mereka juga kadang tidak mendapat perhatian dari industri, terutama perusahaan. Misalnya ketika mereka berkeluarga dan memiliki anak, tidak ada tunjangan anak atau suami," ucap Stevy.

"Berbeda dengan kaum pria yang mendapat hak penuh dengan alasan sebagai kepala keluarga. Padahal tuntutan dan kewajiban [pekerjaan] diminta sama antara perempuan dan laki-laki," ucapnya menambahkan.

Senada dengan Stevy, Anneke Wijaya menambahkan bahwa perempuan sering kali harus membuktikan diri lebih keras dibanding pria.

“Perempuan harus bekerja lebih keras agar dianggap kami ini serius. Kami harus bisa tegas dalam menyampaikan pengetahuan, tapi tidak terkesan sok pintar,” kata Anchor dari CNBC Indonesia TV tersebut.

Anneke mengawali kariernya di dunia media setelah sebelumnya bekerja di bidang sales. Meski mendapat tawaran lebih menggiurkan di bidang lain, ia memilih untuk bekerja di media karena merasa tertantang untuk menyampaikan informasi dengan lebih sederhana dan jelas.

"Ada semacam satisfaction kalau bisa menyampaikan informasi dengan lebih mudah," tutur Anneke.

"Harus diakui memang perjalanan bekerja di industri media ini sangat banyak sekali tantangan dan tuntutannya, harus bisa fleksibel. Tapi pada akhirnya cukup memberikan kepuasan pribadi. Saya juga senang dengan tantangan yang ada, bertemu orang baru, belajar banyak hall," tuturnya kembali.

Anneke juga menyoroti salah satu tantangan yang dihadapi industri media secara umum.

Baru-baru ini, pemberitaan di Indonesia diramaikan dengan pengiriman paket teror. Kantor media TEMPO mendapat paket berupa kepala babi tanpa telinga dan enam tikus mati tanpa kepala dalam kurun waktu empat hari.

“Ancaman terhadap jurnalis, seperti yang terjadi pada TEMPO, menunjukkan bahwa kebebasan pers kita masih dalam tekanan. Jika jurnalis terancam, itu berarti demokrasi kita juga terancam,” tegas Anneke.

Lebih lanjut, Anneke melihat digitalisasi yang terjadi di industri media Indonesia sebagai pedang bermata dua khususnya bagi perempuan. Di satu sisi, ia lihat semakin banyak perempuan yang menciptakan cerita dan perspektif baru.

"Kendati begitu, di media sosial masih banyak juga perempuan yang diberikan cercaan dan body shaming, atau bahkan komentarnya out of topic dan melecehkan,” ungkapnya.

Meski demikian, Anneke optimistis jurnalis perempuan akan terus berkembang di masa depan. Perempuan, katanya, kini juga ada yang memimpin tim investigasi, sebuah liputan yang dianggap beresiko dan biasanya ditangani laki-laki.

"Ini membuktikan perempuan tidak takut. Kita butuh banyak perempuan agar perspektifnya beragam."

More stories


Telum Media

Database

Belum menjadi klien dan tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang manfaat berlangganan database Telum Media?

Pesan demo

Telum Media

Peringatan

Lansiran email reguler yang menampilkan berita terbaru dan perpindahan dari industri media di seluruh Asia Pasifik