Telum Talks To... Shih Hsiu-Chuan, Reporter, Central News Agency
Interview

Telum Talks To... Shih Hsiu-Chuan, Reporter, Central News Agency

Di tengah pandemi ini, Shih Hsiu-Chuan, atau Jane, bicara mengenai tugasnya meliput berita yang berhubungan dengan Taiwan dari luar negeri. Ia hanya bisa meliput tentang Jakarta meski biasanya ia juga bepergian ke negara-negara kawasan Pasifik Selatan.

Central News Agency (CNA) adalah kantor berita nasional dari Taiwan. Berita seperti apa dari Indonesia yang memiliki daya tarik untuk pembacanya?
Berita humanisme. Misalnya, baru-baru ini ada berita tentang seorang murid sekolah menengah atas berusia 19 tahun yang mencari pengasuhnya. Mereka telah kehilangan kontak selama 15 tahun. Berita ini banyak dipublikasikan media lain dan juga dibagikan oleh pembaca kami. 

Isu yang berkaitan dengan peran Taiwan dalam banyak proyek di Indonesia juga menarik untuk pembaca kami, misalnya saja partisipasi Taiwan dalam moda raya terpadu dan lintas rel terpadu di Jakarta. Juga isu-isu sosial yang diperdebatkan di Indonesia seperti hak LGBT.

CNA juga mempertimbangkan peristiwa besar di Indonesia, misalnya hubungan Taiwan dengan Indonesia dalam perdagangan, hubungan ekonomi, pekerja migran serta kehadiran Tiongkok di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara juga penting.

Apa berita yang paling menantang yang pernah Anda kerjakan di Indonesia?
Saya rasa berita yang berkaitan dengan Islam adalah tantangan buat saya, karena saya tidak begitu memahami Al-Qur'an dan ajarannya. Hal ini membuat saya khawatir bila saya salah mengintepretasikan Islam dalam isu-isu yang saya tuliskan. Saya pernah menulis artikel mengenai ''Bukan Perawan Maria'', buku yang ditulis oleh Feby Indirani. Saya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahami bukunya sebelum akhirnya saya menuliskan artikel berdasarkan wawancara dengan dia.

Apa hal yang paling Anda suka dan paling tidak suka ketika meliput di Jakarta?
Saya rasa hal baiknya adalah kebanyakan orang dan para pejabat bersedia diwawancarai, meskipun kadang saya harus mengirimkan surat permohonan resmi dari kantor. Saat saya pertama ditugaskan ke sini pada Februari 2019, saya kita itu mubazir dan birokratis. Namun dalam banyak kesempatan, ketika kita mengikuti prosedurnya, liputan berjalan lancar.

Hal yang paling saya tidak sukai adalah banyaknya personil keamanan di banyak tempat, di pusat perbelanjaan, stasiun kereta, bahkan di jalanan, mereka selalu menghentikan saya ketika memotret atau merekam video. Mereka selalu mengatakan agar saya meminta izin dari pihak pengelola kawasan terlebih dahulu.

Bagaimana rasanya terjebak di Jakarta?
Saya kembali ke Jakarta pada minggu terakhir Januari setelah Tahun Baru Imlek karena saya memang ditugaskan di sini. Saat itu, wabah COVID-19 baru saja mulai. Saya memiliki rencana untuk meliput beberapa berita di luar Jakarta dan hal ini mesti ditunda karena pandemi ini. Saya tidak merasa terjebak, karena masih banyak sekali kisah tentang pandemi yang bisa saya tulis di Jakarta.

Tahun lalu, saya mengunjungi Masjid Istiqlal, masjid terbesar yang ada di Asia Tenggara. Saya melihat ribuan orang mengantre untuk mendapatkan makanan buka puasa dan mereka juga di sana untuk salat tarawih. Tahun ini, masjidnya ditutup. Tidak ada apa-apa di sana! Perbedaannya sangat terasa.

Jika tidak ada coronavirus, mungkin saya akan berada di Timor Leste atau Papua mengerjakan ficer.

Apa hal yang menjadi perhatian terbesar Anda selama pandemi coronavirus ini? Terlebih Anda harus pergi keluar untuk merekam video dan memotret?
Saya khawatir bila terinfeksi dengan virus itu ketika saya pergi meliput dan saya juga khawatir dengan penerjemah saya karena saya bertanggung jawab atas keselamatan dia. Kami berdua berusaha menjadi lebih waspada dalam situasi ini. Kami selalu memakai masker dan menggunakan hand sanitizer. Sebagai seorang reporter, saya merasa tetap harus pergi meliput meski itu riskan.

Suatu hari, kami pergi meliput ke rumah sakit di Jakarta untuk mewawancarai dokter mengenai peralatan yang digunakan untuk mengetes COVID-19. Dokter itu mengatakan keesokan hari, ia akan melakukan ekstraksi asam ribonukleat (dari swab lendir atau tenggorokan) dan kami boleh meliput lagi bila membutuhkan gambar ia berpakaian baju hazmat. Karena kami tidak memiliki baju hazmat dan pihak humas juga waswas mengizinkan masuk tanpa alat pelindung diri yang lengkap, kami menyerah.

Hal pertama yang Anda ingin lakukan ketika pandemi ini berakhir?
Saya ingin berkunjung ke Taman Safari!

More stories


Telum Media

Database

Jurnalis
Hsiu Chuan Shih

Reporter

Media
Central News Agency

41 contacts, 1 media request

Get in touch to hear more

Minta demo

Telum Media

Peringatan

Lansiran email reguler yang menampilkan berita terbaru dan perpindahan dari industri media di seluruh Asia Pasifik

Berlangganan alert