Interview
Telum Talks To... Margaretha Untoro, Pemimpin Redaksi dan Chief Community Officer, Dewi
Bagaimana caranya majalah fesyen melakukan pemotretan di tengah pandemik COVID-19? Dengan sedikitnya jumlah acara peluncuran koleksi pakaian, apa yang mereka tulis?
Apa yang membuat Dewi berbeda dengan majalah wanita lainnya?
Dewi adalah pionir publikasi gaya hidup dan kemewahan di Indonesia. Majalah ini sudah ada sekitar 28 tahun, sehingga memiliki tumpuan yang sangat kuat. Selain itu, Dewi juga merupakan majalah yang asli Indonesia, bukan majalah berlisensi asing. Dua faktor ini yang membuat kami berbeda dan unik.
Ceritakan keseharian Anda sebagai seorang Pemimpin Redaksi di tengah COVID-19?
Sebagian besar waktu, saya masih bekerja dari rumah, jadi setiap hari kurang lebih begini - meracik kopi, olahraga yoga jika saya punya waktu, mandi dan bersiap untuk ke ''kantor'' yang lokasinya ada di area dapur dan ruang makan. Setelah itu, saya akan mengecek jadwal, rapat melalui video dengan 12 orang yang ada di tim redaksi Dewi, tim bisnis dan/atau dewan direksi.
Pada dasarnya, seorang Pemimpin Redaksi adalah seorang manajer, jadi tanggung jawab saya adalah berkoordinasi dengan tim editorial dan memastikan bahwa segalanya di Dewi sesuai dengan pedoman dan tema editorial. Saya juga menyunting, melakukan pemeriksaan terakhir untuk artikel dan menyetujui pemotretan. Jika ada peluncuran atau acara jenama, saya akan menghadirinya. Namun, tidak begitu banyak acara karena pandemik ini.
Dari segi bisnis, saya bekerja secara erat dengan tim untuk menciptakan peluang baru, membantu rencana bisnis dan anggaran keuangan, serta menjaga kerja sama yang baik dengan para klien. Selain peran editorial, saya juga mengawasi acara yang dibuat Dewi.
Di 'kenormalan yang lama', kurang lebih juga sama. Perbedaan terbesarnya adalah saya akan menghadiri lebih banyak acara di luar kantor dan bahkan menghabiskan setengah hari di jalanan karena macet.
Bagaimana COVID-19 memengaruhi kerja editorial Dewi?
Semua acara fesyen secara global sudah ditunda sejak Februari dan karena adanya pembatasan sosial yang masih berlangsung di mana-mana, ada banyak yang harus kami sesuaikan dan adaptasi. Menurut saya, perubahan-perubahan ini tidak hanya perlu, tetapi juga mengasyikkan untuk disimak.
Secara alamiah, ada banyak konten yang membahas aktivitas di dalam rumah, dari sisi kecantikan, kebugaran sampai memasak. Konten mengenai fesyen akan selalu ada, karena fesyen itu aspiratif.
Biasanya, sekitar waktu ini kami meliput koleksi fesyen teranyar, koleksi cruise, dan berita pariwisata. Dewi masih meliput berita-berita ini, hanya saja dengan narasi dan perspektif yang berbeda. Untungnya, ada banyak koleksi yang dirilis secara daring jadi beritanya masih bisa ditulis.
Bagaimana dengan pemotretan?
Untungnya, Dewi sudah memiliki beberapa sesi pemotretan sebelum PSBB diberlakukan di Jakarta. Namun, untuk proyek yang masih berlangsung, sama seperti majalah lain, kami melakukan pemotretan secara daring, bekerja sama dengan para ilustrator, atau membeli lisensi pemotretan dari agensi internasional atau kontributor.
Majalah selalu merencanakan edisi-edisinya setidaknya dua atau tiga bulan sebelum diluncurkan. Saat kita berbicara mengenai edisi cetak, kita membutuhkan waktu untuk mencetak majalah, yang berarti majalah sudah harus selesai dikerjakan dua atau tiga minggu sebelum edisinya dijual secara umum.
Bagaimana Dewi membuat konten secara daring selama COVID-19?
Banyak orang diam di rumah. Telepon pintar adalah cara termudah untuk ''melarikan diri'' dan melihat dunia di luar sana. Ini menciptakan engagement terhadap Dewi yang meningkat tajam. Dewi juga memiliki seri Instagram Live bernama DEWI INSTAGRAM LIVE! tetapi ini tidak begitu baru karena seri ini sudah pernah dicoba sebelumnya, meskipun dipakai untuk menayangkan acara seperti Dewi Fashion Knights. Menyongsong 'kenormalan baru' kami akan menggunakannya untuk berinteraksi lebih sering dengan para pembaca.
Apa pengalaman yang tak terlupakan selama Anda bekerja di Dewi?
Ketika ada pembaca yang menulis surat atau berbincang kepada saya bahwa artikel atau isu-isu yang kami bahas menginspirasi atau menyentuh mereka. Dan setiap kali kami mempublikasikan edisi baru atau membuat acara yang sukses, itu adalah pengalaman yang tak terlupakan!
Dari film semacam The Devil Wears Prada, kita jadi memiliki gambaran bahwa jurnalis fesyen hidupnya sangat glamor, mereka mendapatkan kiriman pakaian, tas dan juga produk kecantikan. Apakah ini benar atau hanya stereotip saja?
Hahaha... saya sering mendapatkan pertanyaan ini! Yang bisa saya katakan adalah, bekerja di majalah fesyen itu tidak melulu indah. Apakah glamor? Di belakang layar, tidak, tidak sama sekali. Menurut saya, di industri yang lebih matang seperti di Amerika Serikat atau Eropa, ya, bisa sangat glamor terlebih lagi dulu kala. Namun, tidak begitu di Indonesia. Bahkan saya aja enggak punya asisten pribadi!
Dewi adalah pionir publikasi gaya hidup dan kemewahan di Indonesia. Majalah ini sudah ada sekitar 28 tahun, sehingga memiliki tumpuan yang sangat kuat. Selain itu, Dewi juga merupakan majalah yang asli Indonesia, bukan majalah berlisensi asing. Dua faktor ini yang membuat kami berbeda dan unik.
Ceritakan keseharian Anda sebagai seorang Pemimpin Redaksi di tengah COVID-19?
Sebagian besar waktu, saya masih bekerja dari rumah, jadi setiap hari kurang lebih begini - meracik kopi, olahraga yoga jika saya punya waktu, mandi dan bersiap untuk ke ''kantor'' yang lokasinya ada di area dapur dan ruang makan. Setelah itu, saya akan mengecek jadwal, rapat melalui video dengan 12 orang yang ada di tim redaksi Dewi, tim bisnis dan/atau dewan direksi.
Pada dasarnya, seorang Pemimpin Redaksi adalah seorang manajer, jadi tanggung jawab saya adalah berkoordinasi dengan tim editorial dan memastikan bahwa segalanya di Dewi sesuai dengan pedoman dan tema editorial. Saya juga menyunting, melakukan pemeriksaan terakhir untuk artikel dan menyetujui pemotretan. Jika ada peluncuran atau acara jenama, saya akan menghadirinya. Namun, tidak begitu banyak acara karena pandemik ini.
Dari segi bisnis, saya bekerja secara erat dengan tim untuk menciptakan peluang baru, membantu rencana bisnis dan anggaran keuangan, serta menjaga kerja sama yang baik dengan para klien. Selain peran editorial, saya juga mengawasi acara yang dibuat Dewi.
Di 'kenormalan yang lama', kurang lebih juga sama. Perbedaan terbesarnya adalah saya akan menghadiri lebih banyak acara di luar kantor dan bahkan menghabiskan setengah hari di jalanan karena macet.
Bagaimana COVID-19 memengaruhi kerja editorial Dewi?
Semua acara fesyen secara global sudah ditunda sejak Februari dan karena adanya pembatasan sosial yang masih berlangsung di mana-mana, ada banyak yang harus kami sesuaikan dan adaptasi. Menurut saya, perubahan-perubahan ini tidak hanya perlu, tetapi juga mengasyikkan untuk disimak.
Secara alamiah, ada banyak konten yang membahas aktivitas di dalam rumah, dari sisi kecantikan, kebugaran sampai memasak. Konten mengenai fesyen akan selalu ada, karena fesyen itu aspiratif.
Biasanya, sekitar waktu ini kami meliput koleksi fesyen teranyar, koleksi cruise, dan berita pariwisata. Dewi masih meliput berita-berita ini, hanya saja dengan narasi dan perspektif yang berbeda. Untungnya, ada banyak koleksi yang dirilis secara daring jadi beritanya masih bisa ditulis.
Bagaimana dengan pemotretan?
Untungnya, Dewi sudah memiliki beberapa sesi pemotretan sebelum PSBB diberlakukan di Jakarta. Namun, untuk proyek yang masih berlangsung, sama seperti majalah lain, kami melakukan pemotretan secara daring, bekerja sama dengan para ilustrator, atau membeli lisensi pemotretan dari agensi internasional atau kontributor.
Majalah selalu merencanakan edisi-edisinya setidaknya dua atau tiga bulan sebelum diluncurkan. Saat kita berbicara mengenai edisi cetak, kita membutuhkan waktu untuk mencetak majalah, yang berarti majalah sudah harus selesai dikerjakan dua atau tiga minggu sebelum edisinya dijual secara umum.
Bagaimana Dewi membuat konten secara daring selama COVID-19?
Banyak orang diam di rumah. Telepon pintar adalah cara termudah untuk ''melarikan diri'' dan melihat dunia di luar sana. Ini menciptakan engagement terhadap Dewi yang meningkat tajam. Dewi juga memiliki seri Instagram Live bernama DEWI INSTAGRAM LIVE! tetapi ini tidak begitu baru karena seri ini sudah pernah dicoba sebelumnya, meskipun dipakai untuk menayangkan acara seperti Dewi Fashion Knights. Menyongsong 'kenormalan baru' kami akan menggunakannya untuk berinteraksi lebih sering dengan para pembaca.
Apa pengalaman yang tak terlupakan selama Anda bekerja di Dewi?
Ketika ada pembaca yang menulis surat atau berbincang kepada saya bahwa artikel atau isu-isu yang kami bahas menginspirasi atau menyentuh mereka. Dan setiap kali kami mempublikasikan edisi baru atau membuat acara yang sukses, itu adalah pengalaman yang tak terlupakan!
Dari film semacam The Devil Wears Prada, kita jadi memiliki gambaran bahwa jurnalis fesyen hidupnya sangat glamor, mereka mendapatkan kiriman pakaian, tas dan juga produk kecantikan. Apakah ini benar atau hanya stereotip saja?
Hahaha... saya sering mendapatkan pertanyaan ini! Yang bisa saya katakan adalah, bekerja di majalah fesyen itu tidak melulu indah. Apakah glamor? Di belakang layar, tidak, tidak sama sekali. Menurut saya, di industri yang lebih matang seperti di Amerika Serikat atau Eropa, ya, bisa sangat glamor terlebih lagi dulu kala. Namun, tidak begitu di Indonesia. Bahkan saya aja enggak punya asisten pribadi!
More stories
Telum Media
Database
Get in touch to hear more
Minta demoTelum Media
Peringatan
Lansiran email reguler yang menampilkan berita terbaru dan perpindahan dari industri media di seluruh Asia Pasifik
Berlangganan alert