Feature

Telum Vox Pop: 5 hal yang perlu diketahui tentang jurnalisme travel

Telum berbicara dengan beberapa travel jurnalis/blogger untuk mengeksplorasi tentang lima hal yang mungkin belum diketahui orang tentang jurnalisme travel.

Apakah menjadi jurnalis / blogger travel hanya perlu sekedar merencanakan perjalanan, memesan tiket, mengambil foto, membuat tulisan deskriptif, menyiapkan kata-kata cantik, dan mempublikasikannya?

Mari kita tanya langsung kepada para jurnalis dan blogger travel, yang akan memaparkan sendiri lima hal yang perlu diketahui tentang jurnalisme travel.

giphy.gif
Femi Diah, Wakil Redaktur Pelaksana, Detik.com
  1. Jurnalis Travel harus pandai meriset destinasi wisata, tiket, penginapan, transportasi, narasumber, fasilitas kesehatan, sanitasi, dan lain-lain. Ia juga dituntut mudah beradaptasi dengan situasi dan kondisi di perjalanan misalnya saja transportasi, jetlag, memiliki kemampuan navigasi. Ia juga harus mampu mempersiapkan diri ketika sampai di destinasi misalnya kemampuan bahasa, kultur, cuaca, dan kemungkinan kehabisan uang
  2. Menyukai kebaruan dan kreatif dari cari ide sampai distribusi laporan perjalanan 
  3. Kemampuan komunikasi, multitasking, dan multimedia
  4. Mampu bekerja sendiri dan terbiasa dengan kesendirian, tetapi juga harus bisa kerja dalam tim dan membangun jejaring
  5. Memiliki hobi yang berhubungan dengan travel agar bisa melakukan pendekatan ke warga lokal. Namun, penting juga memiliki hobi di luar travel karena aktivitas bepergian sudah menjadi pekerjaan dan kalau terlalu banyak traveling, jurnalis bisa burnout.

giphy.gif
Matius Teguh Nugroho, Blogger, The Travelearn
  1. Tidak semua Travel Blogger mendapatkan sponsor penuh untuk perjalanan-perjalanannya, malah sebetulnya jauh lebih banyak yang traveling mandiri. Kalau pun sukses jadi Travel Blogger ternama dan bekerjasama dengan sponsor, prosesnya juga tidak mudah, tidak murah, dan tidak sebentar. Kita harus bangun portofolio dulu, jalan-jalan modal sendiri dulu, bikin konten yang bagus, barulah dilirik brand. 
  2. Tiap orang punya prioritas masing-masing. Jika yang lain lebih suka spend money untuk barang fisik, makanan, atau hobi lainnya, kami memilih traveling. Jadi Travel Blogger bukan jalan-jalan karena duitnya berlimpah, tapi karena suka. 
  3. Gear apa pun tidak masalah. Tidak perlu skill fotografi ahli pun. Tapi bohong banget kalau dibilang travel blogger tidak butuh kemampuan fotografi. Minimal bisa mengambil foto dengan lurus atau jelas apa objeknya.
  4. Biasanya Travel Blogger juga identik dengan backpacker atau pejalan berbiaya rendah. Meski pengeluaran kami selama perjalanan memang tidak berlebihan, tapi bukan berarti travel gear kami asal-asalan. Backpack-nya mungkin seharga satu kasur busa. Kameranya bisa jadi setara harga sepeda motor. 
  5. Ada kalanya travel blogger merasa jenuh untuk menulis, atau jalan-jalan, dan akan vakum untuk beberapa waktu. Nanti ketika sudah merasa cukup disegarkan, ide-ide konten akan kembali.

giphy.gif
Doddy Wiraseto, Editor, Lionmag
  1. Kamera merupakan alat yang sangat penting. Aktivitas di setiap destinasi wisata membutuhkan dokumentasi foto penting untuk mendukung tulisan.
  2. Jurnalis travel wajib punya paspor. Ini merupakan dokumen penting, terlebih jika jurnalis travel sering mendapat undangan meliput destinasi wisata di luar negeri.
  3. Menjadi jurnalis travel harus mudah beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat setempat. Ini merupakan kebiasaan buat seorang jurnalis travel saat berada di manapun.
  4. Jurnalis travel harus mampu membuat konten dekriptif karena memvisualkan mata ke tulisan adalah pekerjaan jurnalis travel. Kemampuan mendeskripsikan dengan tulisan yang mudah dimengerti adalah keharusan.
  5. Jurnalis travel juga harus responsif dengan isu lingkungan. Kita tidak hanya sekedar mencari berita, tapi juga turut mengedukasi masyarakat di destinasi tersebut tentang bagaimana menjaga keberlangsungan lingkungan yang baik seiring perkembangan pariwisata di tempat tersebut.

giphy.gif
Nabilla Tashandra, Asisten Editor, KOMPAS.com
  1. Tidak bisa asal caplok. Mudahnya membuat "media massa", terutama online, membuat semakin banyak orang dengan mudah mempublikasikan berita wisata atau perjalanan dengan sumber yang kurang kredibel. Misalnya, main caplok dari media sosial tanpa mengonfirmasikan kembali. Hasilnya, mungkin banyak informasi yang kurang tepat atau malah obyek wisata yang ditulis ternyata "zonk" saat dikunjungi langsung.
  2. Wartawan travel tidak berarti senang-senang melulu karena banyak jalan-jalan. Faktanya, yang banyak "jalan-jalan" bukan cuma wartawan travel. Hanya saja destinasi wartawan travel lebih bersifat leisure. Apakah jalan-jalan artinya senang-senang? Nggak juga. Sering kali wartawan travel harus explore tempat-tempat yang belum banyak orang tahu, yang artinya aksesnya terbatas. Bagi sebagian orang, itu mungkin kurang nyaman. Lainnya, kita harus bisa bedakan antara liburan dan kerja. Bepergian dalam rangka kerja dan liburan rasanya sangat berbeda. Timeline yang ketat saat kerja tentu membuat kita tidak leluasa menikmati lokasinya atau bahkan sangat tidak bisa menikmati. Tapi kembali lagi, relatif. Sebagian orang mungkin menikmati prosesnya dan menilai pola kerja ini sesuatu yang menyenangkan. Jadi wartawan travel tak semudah kelihatannya, yang sepertinya jalan-jalan terus mempublikasikan soal obyek dan aktivitas wisata mungkin memang terdengar ringan, misalnya jika dibandingkan dengan isu-isu berat lain, seperti politik, hukum, atau ekonomi. Faktanya, mewartakan isu travel yang baik dan berkualitas juga menantang karena kita dituntut untuk tidak hanya menggali sesuatu di permukaannya saja, tapi secara mendalam. Bekal pengetahuan umum yang luas sangat penting buat seorange wartawan travel. Sekarang, semua orang bisa mempublikasikan informasi di internet. Kalau wartawan travel hanya mewartakan biasa-biasa saja, akan kalah dan tidaj ada bedanya dengan blogger atau masyarakat biasa yang menulis di media sosial
  3. Panca indera seorang wartawan travel dituntut lebih peka, terutama ketika meliput langsung, sehingga ketika menuangkannya menjadi narasi bisa menggambarkan suatu obyek atau aktivitas wisata dengan lebih komprehensif. Kedengarannya mudah, tapi ini cukup menantang terutama bagi wartawan yang sebelumnya terbiasa mengolah berita langsung (straight news).
  4. Perhatian terhadap detail juga bermanfaat ketika seorang wartawan travel bertemu dengan data angka.
 
Lihat konten Telum lainnya:
Telum Talks To… Helena Eka Santhika, Jalantikus.com
Telum Talks To... Andry Suryawenata, IN Today Media
Telum Talks To... Haifa Inayah, Chief Executive Officer of Catch Me Up!
Telum Talks To... Ira Guslina, Editor-in-Chief, Tempias.com
Jurnalis Indonesia bersiap sambut offline events

More stories


Telum Media

Database

Get in touch to hear more

Minta demo

Telum Media

Peringatan

Lansiran email reguler yang menampilkan berita terbaru dan perpindahan dari industri media di seluruh Asia Pasifik

Berlangganan alert